Minggu, Mei 21, 2023

100k km and still counting

Cerita dimulai pada akhir tahun 2015.  Pada saat itu aku putuskan untuk membeli road bike merk Polygon karena ternyata aku lebih sering menggunakan MTB ku untuk nanjak dibandingkan dengan gowes masuk single track. Harapannya sih ganti road bike bisa lebih cepat untuk nanjak dan bisa explore rute lebih jauh lagi. Pilihan jatuh ke Polygon Helios A8 tahun 2013 yang sudah discontinue. Lumayan karena barang sisaan, jadi dapet diskonan. Harganya dulu sekitaran Rp 22.5jt an, worth it sih menurutku, group set juga sudah Ultegra walaupun masih menggunakan 10 speed.

Pada saat tulisan ini dibuat,  sepeda kesayanganku ini sudah dipakai lebih dari 7 tahun. Walaupun tipe sepeda ini aero/performance, tapi pada kenyataannya bisa kugunakan untuk bermacam-macam style dan rute. Bejek-bejekan di rute flat? Bisa. Buat nanjak walaupun buka tipe all round? Nggak masalah, justru alasan beli RB buat melibas rute ini. Gowes sosialita/iwir-iwir/pace ghibah? Aman. Long ride? No problemo ferguso. Sepeda ini terbukti tangguh melibas rute Audax 1200km, alhamdulillah tanpa kendala. Gowes intensitas tinggi dengan pace steady? Bisa dunk, tinggal dipasangi aero bar seperti yang kugunakan sekarang. Karena handlebar nya nggak pakai stem yang integrated, malah lebih fleksibel jadinya, bisa kupasangi stem negatif sampe -17 derajat. Yang nggak bisa dilewatin mungkin cuma rute singletrack, makadam, dan jalur tanah (apalagi berlumpur). Terakhir aku pakai gowes ke Ciherang yang ditembusin ke Kota Bunga dimana pada saat itu jalanannya hancur lumayan parah sejauh 10km++, masih bisa dilewati walaupun pelan-pelan, tapi efeknya lumayan, sakit punggung dan pegal-pegal di bahu,

Bisa dibilang sepeda ini adalah investasi terbaikku dalam 7 tahun. Harga beli relatif murah, diskonan pula,  dan selama dipakai udah bikin sehat: sehat kantong, sehat kaki & jantung, dan sehat mata buat menikmati pemandangan di rute-rute yang baru ku-explore. Selain itu perawatannya juga bisa dibilang minim. Sepertinya masih bisa diitung dengan jari berapa kali sepeda ini ku-service besar.  Boro-boro service besar, yang ringan juga jarang, paling baru dibawa ke bengkel kalau ada kabel-kabel rem/shifter yang bermasalah dan perlu diganti. Kalau cuma membersihkan rantai, ganti ban, ganti rantai, ganti chainring, ganti sprocket masih bisa kukerjakan sendiri.

Groupset Ultegra 6700 10 speed yang dipasangkan di sepeda ini bener-bener badak, dari awal nggak pernah ganti, so far masih oke. Selama 7 tahun ini, upgrade terbesar ada di crank+chainring dan wheelset. Crank aku ganti dengan merk Rotor,  itu juga karena habis diracuni sama temen, pakai Rotor bisa menggunakan chainring yang oval. Bisa juga sih pakai Crank bawaan Shimano, tapi karena Ultegra 6700 masih pakai 5-bolt, akan banyak menemui masalah kompatibilitas ketika chainringnya mau aku ubah-ubah. Tapi sejujurnya emang enak sih setelah pakai chainring oval, which is kecil kemungkinan aku akan ganti lagi dengan chainring yang round. Wheelset juga kuganti karena wheelset yang lama retak. Walaupun sebenarnya masih bisa kugunakan, karena keretakannya bukan di rim nya tapi di profile carbon nya, tapi ya daripada nggak tenang pas gowes.

Crash mungkin sudah kualami paling nggak 5 kali: jatoh diturunan Gunung Mas yang waktu agak parah sampai dagu dijahit, jatuh bego dijalanan flat gara2-gara kekencengan ngerem, nabrak anak kecil yang tiba-tiba menyeberang, jatuh ketika putar balik di Graha, jatuh ketika nanjak di Gadog yang ternyata ada tulang retak, dan terakhir nabrak emak-emak pake sepeda jam 03:30 pagi ketika Audax Solo. Bocel udah pasti dimana-mana. tapi proven sampai sekarang masih bisa digunakan.

Pada intinya sepeda ini udah disiksa dengan berbagai kondisi ditambah crash berkali-kali masih bisa dipakai. Jujurly,  belum ada niat ganti walaupun udah banyak yang ngeracunin, sampe menyuruh sepedaku ini dibingkai in aja untuk digantung jadi pajangan 🙈.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar