Rabu, April 26, 2023

Yang Tersisa dari Audax Solo 400K

Audax Solo 400K yang diadakan di akhir bulan Februari lalu memberikan pengalaman yang cukup berkesan buatku. Dari beberapa kali mengikuti event Audax, mungkin Solo 400K ini yang benar-benar menguji mentalku untuk menyelesaikan tantangannya dibawah waktu Cut off Time (CoT). 
Dari mulai gowes yang niat awalnya asal bisa finish dibawah CoT, menjadi gowes endurance strength dengan pace cepat karena ketemu dengan rombongan tim Sport Gel, hingga nyaris celaka di turunan curam, kena musibah ban bocor dan diakhiri crash di dini hari nabrak ibu-ibu yang mau ke pasar. Namun pada akhirnya dengan berbagai cobaan diatas aku berhasil menyelesaikan event ini  pukul 04:30, 3.5 jam sebelum CoT.

Pre-race
Berhubung aku sudah mengambil paket Super Randonneur sebelumnya, jadi aku merasa “wajib” untuk menyelesaikan Audax 400K ini. Sejujurnya, ekspektasiku tidak terlalu tinggi. Karena dari Jakarta nggak ada barengan ataupun janjian bareng dengan goweser lain, rencawa awalku adalah gowes dengan pace normal, tanpa perlu grasak-grusuk tanpa target. Yang penting masih bisa selesai sebelum CoT.


Mungkin yang membuatku cukup semangat adalah karena event nya ini diselenggarakan di Solo, perjalanan menggunakan kendaraan menuju kesana pasti akan melewati Semarang/Ambarawa, dan di bulan Februari ini sedang musim durian. Sejak melewati daerah sekitaran perbatasan Magelang-Ambarawa yang banyak menjual duren lokal pada Audax Yogyakarta 600K tahun lalu, aku selalu mampir kesini. Kebetulan ada rumah makan yang enak dan menjual duren lokal dan lokasinya hanya 20 menit dari pintu tol Bawen.

Makanan favoritku disini adalah  Sop Ayam, berbeda dengan soto yang disuir, di Sop Ayam, potongannya utuh. Makanan penutup setelah sarapan adalah 1 buah durian lokal yang ukurannya tak terlalu besar, murah meriah hanya 40 ribu tapi ternyata isinya banyak. Karena aku datang agak pagi, aku putuskan untuk mengeluarkan sepedaku dan gowes nge-loop melewati Banyubiru dimana di sepanjang jalan banyak dijumpai penjual durian lokal.

Di malam hari sebelum race, aku menyelesaikan buku Ichigo Ichie yang memang sengaja kubawa. Buku ini telah memberikan banyak inspirasi positif, bahwa momen yang kita alami sekarang ini adalah unik dan belum tentu terulang di masa depan. Jadi di dalam kondisi apapun, kita harus selalu berpikir positif, dan mencoba menikmati momen-momen yang sedang kita jalani sekarang. Tak kusangka buku ini ternyata memberiku kekuatan untuk bertahan di keesokan harinya.


Hari H

Aku termasuk ke dalam rombongan yang pertama start, karena lokasi start nya sama dengan hotel tempat aku menginap, habis subuh langsung cus ke lokasi yang ternyata belum terlalu ramai. Karena memang nggak ada barengan aku gowes dengan pace santai. Ketemu rombongan di depan, langsung aku gandolin saja, nggak masalah walaupun mereka gowes dengan pace santai. Hingga akhirnya di sekitaran km 27an ada tanjakan yang menurutku lumayan curam, aku susul rombongan di depanku hingga membuat gap yang cukup jauh. 

Aku disusul oleh Munir sebelum CP 1 (sekitar km 47), dan pada akhirnya semua tim Sport Gel berdatangan menyusul hingga lengkap semua di CP2. Pada akhirnya aku ijin ngegandol dan barengan gowes dengan mereka hingga sekitaran KM 310 an dimana disitu ban ku bocor dan mereka jalan duluan.



Rute Audax Solo 400K ini lumayan melelahkan. Setelah melewati tanjakan curam di km27, ada tanjakan lumayan panjang dengan gradien sedang di km 68, rutenya melewati jalur Sragen - Karanganyar. Dari situ, peserta diarahkan ke selatan, menuju Wonogiri dimana jalanannya didominasi rute rolling, naik turun dan aspalnya relatif nggak mulus, sehingga banyak energi terbuang. Cuaca panas dan terik menambah tantangan di event ini, belum lagi tim Sport Gel bergantian menarik peloton dengan speed tinggi. Yang kuingat, sepanjang aku mengikuti mereka Zona Power ku ada di Z3 dengan jarak lebih dari 250km.

Setelah CP5 di km250an, masih tersisa rute rolling dan menanjak, hingga puncaknya di km 270 yang rutenya didominasi oleh hutan, dan jalanannya pun tidak terlalu lebar. Kami melewati puncak sekitaran jam 5 sore, masih cukup terang. Lumayan seram jika melewati rute tersebut di malam hari, karena benar-benar melewati hutan dan tidak ada lampu jalan. Setelah km270, kami melewati jalanan yang menurun. Ada beberapa ruas yang turunannya curam dan berbelok tajam. Aku hampir bablas dan celaka disini karena terlambat mengerem. Beruntung jalanan sepi, walaupun oversteer dan keluar jalur, masih bisa kukendalikan. Belakangan aku baru tahu di ruas ini banyak goweser dibelakangku yang terjatuh. Selain turunannya yang sudah curam, mereka melalui rute ini setelah gelap dan licin karena hujan.

Ban Bocor
Setelah CP6, disekitaran km 310 sepedaku menghajar lubang yang cukup dalam. Karena sudah malam sekitaran jam 7, jalanan yang gelap ditambah penerangan lampu sepeda yang memang remang-remang, membuatku tidak bisa menghindar. Alhasil ban belakangku bocor, memaksaku untuk melipir dan mempersilakan rombongan tim Sport Gel untuk gowes duluan. Kupikir tinggal ganti ban saja beres. Ketinggalan ya urusan belakangan.

Namun ternyata aku kurang beruntung.  Valve extender yang kugunakan di ban belakangku patah ketika memasang di ban cadangan. Dan berhubung semua ban cadangan yang kubawa menggunakan pentil pendek, mau nggak mau aku harus mencari ban dalam yang menggunakan pentil panjang. Setelah 30 menit dari kejadian, baru ada 2 goweser yang lewat dan inipun mereka tidak mempunyai ban dalam dengan pentil panjang. Lokasi ku pada saat itu terbilang lumayan jauh dari keramaian, dan jelas di radius 10-20 km dari situ tidak ada bengkel sepeda. CP7 yang berada di km350 an berjarak sekitar 40km lagi. 

Dengan kata lain, aku harus bergantung pada pesepeda lain di belakangku, berharap mereka membawa ban dalam dengan pentil panjang. Daripada diam di tempat, aku putuskan untuk berjalan sambil menunggu pesepeda lain lewat. Aku menyusuri rute sejauh kurang lebih 10km selama 2 jam lebih dan belum dilewati oleh satu pesepeda pun. Parah juga ini gap nya jauh sekali dengan pesepeda lain.

Waktu sudah menunjukkan sekitara pukul 10 pada malam itu. Mengingat kembali buku Ichigo Icheie yang kubaca di malam sebelumnya, membuatku tetap berusaha untuk tidak menyerah dengan keadaan, enjoy the moment. Pikirku pada saat itu, jika aku tidak menyerah dan bisa finish ini akan memberikan cerita tersendiri yang mungkin tidak akan aku lupakan. Ichigo Ichie mengajarkanku bahwa setiap momen yang kita alami adalah unik dan tidak akan terulang lagi, just do the best.

Setelah mengkalkulasi semua kemungkinan yang ada, pada akhirnya aku putuskan untuk mencari ojek untuk kembali ke hotel karena jaraknya hanya 40km. Alhamdulillah masih ada orang yang mau mengantar PP. Deal 300rb untuk PP sejauh 80km untuk kembali ke hotel, harga yang kupikir cukup besar, tapi mengingat ini sudah jam 10 malam, aku tidak ingin memberikan penawaran yang bisa ditawar-tawar lagi. Sepedaku kutitipkan di rumah tukang ojek. Aku boncengan menggunakan motor sejauh 80km dengan membawa ban belakangku. Sampai di hotel, rasa-rasanya ingin rebahan, namun kutepis pikiran itu. Di mobilku kebetulan aku membawa wheelset cadangan yang memiliki valve extender, jadi sesampainya di hotel langsung aku tukar sekalian dipompa menggunakan pompa kaki, jadi lebih mudah dan cepat. Aku sampai di lokasi awal sekitaran jam 1 malam. Setelah semua beres, aku melanjutkan kembali gowes menuju CP7.

Baru 30 menit gowes, sepedaku menghajar lubang lagi, dan ban belakangku kempes lagi. Disini aku sudah agak parno, takut bermasalah lagi. Namun alhamdulillah setelah aku berhasil mengganti ban dalam, ternyata tidak masalah. 30 menit tambahan lagi terbuang untuk memperbaiki ban bocor. Karena ban dalam cadanganku sudah habis, aku putuskan untuk gowes pelan-pelan saja. Jalanan aspalnya sebenarnya relatif bagus, jarang ada lubang, tetapi sekalinya ada lubang lumayan dalam. 

Jika diingat-ingat, rasanya baru sekali ini sepedaku bermasalah ketika mengikuti event audax. Dari semua event audax yang aku ikuti sebelumnya, rasa-rasanya aku belum pernah sampai mengalami ban bocor. Entah apa karena wheelset yang kupakai menggunakan rim carbon dimana sebelumnya yang kugunakan adalah rim alloy Shimano RS50, dikombinasikan dengan Schwalbe Durano yang memang didesain untuk bisa disiksa di jalur-jalur seperti ini. Malah kupikir ketika Audax 1200, berapa kali aku menghajar lubang di daerah Karanganyar, ban belakang dan depan malah aman-aman saja. Padahal handlebar ku sampai turun, dan tas apidura ku yang kupasang di TT bar sampai jebol.


Crash
Akhirnya aku sampai dengan selamat di CP7 pada pukul 2 pagi. Karena tidak ingin berlama-lama, aku langsung jalan. Pada saat itu ada beberapa rombongan pesepeda lain disana, sepertinya sudah cukup lama istirahat namum belum jalan. Dari CP7 sampai finish seharusnya jalanannya relatif bagus, tidak ada lubang-lubang yang dalam, jadi aku tidak terlalu khawatir bakalan menghajar lubang lagi. Namun disisi yang lain, rutenya cukup menantang karena menanjak sampai Boyolali, dan dilanjutkan dengan turunan hinggal finish.

Dari Klaten sampai dengan Boyolali, jalur yang dilalui bisa dibilang jalur alternatif. Tidak banyak kendaraan yang lewat disitu, ditambah penerangan jalannya pun minim. Ini menyebabkan jarak pandangku terbatas. Ketika ada kendaraan dari arah berlawanan, lampunya lumayan menyilaukan dan aku tidak akan bisa melihat dengan jelas jalanan yang ada di jalurku. Kecuali di depanku ada kendaraan yang melewatiku, lampu kendaraannya bisa sekalian menerangi jalan di depanku.

Karena kondisi ini, aku tidak menyadari kalau di depanku ternyata ada ibu-ibu yang menaiki sepeda, membawa barang dagangan untuk dijual di pasar. Jujur saja aku tidak bisa melihat karena memang sepedanya tidak ada lampu penerangannya, tahu-tahu aku sudah menabrak ibu-ibu itu. Aku pun terjatuh. Alhamdulillah ibu yang kutabrak tidak apa-apa hanya barang dagangannya tercecer kemana-mana. Karena aku masih bisa bangun, aku tolong ibu-ibu tersebut mengumpulkan barang dagagannya sembari aku meminta maaf. Disitu juga kebetulan ada orang lain juga yang membantu.

Setelah aku cek, sepertinya sepedaku tidak bermasalah. Pinggangku sakit, sepertinya lecet karena jatuh. Bahuku juga agak sakit. Yang agak parah mungkin posisi aerobar ku yang bergeser. Shifter hood dan bar tape ku yang di sebelah kanan juga agak sobel, sepertinya pas jatuh kena benda yang agak tajam. Karena kupikir nggak parah-parah banget aku langsung melanjutkan perjalanan. Belakangan aku menyadari kalai gear belakangku kupindah ke gear yang paling enteng, ada bunyi agak kencang. Jadilah aku terpaksa menggunakan gear dibawahnya untuk menghabiskan sisa tanjakan sampai ke Boyolali. Belakangan baru kusadari kalau ternyata di gear yang paling ringan, pulley RD ku menggeses spoke wheelsetku. Ternyata anting RD nya agak bengkok ke dalam. 


Finish

Akhirnya aku menyelesaikan event audax Solo ini sekitar jam 04:30. Pas banget setelah finish adzan subuh mengumandang. CoT masih tersisa sekitar 3.5 jam lagi. Dengan segala macam kejadian yang kualami di event ini, aku merasa bersyukur sekali masih bisa finish sebelum CoT. Pada saat aku finish, sudah ada sekitaran 40 orang pesepeda lainnya yang juga sudah menyelesaikan event ini. Tim Sport Gel infonya finish di sekitar jam 11 malam, menurut hitung-hitunganku seharusnya mereka bisa finish lebih cepat, namun ternyata mereka mengalami musibah ban bocor juga, jadi ada tambahan waktu lagi.  Sesuai dengan dugaanku, setelah mereka finish, disusul 2 orang, dan jeda 2 jam dari tim Sport Gel baru banyak rombongan lain yang masuk. Luar biasa sekali gapnya. Padahal setelah CP 5, pace gowes tim Sport Gel berkurang lumayan signifikan, di satu sisi karena hujan, disisi yang lain juga karena Om Lucky sempat jatuh dan lukanya lumayan, jadi kami berhenti lumayan lama.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar