Rabu, Oktober 04, 2017

Menikmati Keindahan Kawah Ijen

pemandangan kawah Ijen
Beberapa waktu lalu aku bersama rekan-rekan kerja di kantor berkesempatan untuk mengunjungi kota Banyuwangi, dalam rangka workshop dan sekaligus refreshing. Dalam acara refreshingtersebut peserta diberikan kebebasan untuk memilih lokasi wisata yang ingin dikunjungi: Kawah Ijen atau Taman Nasional Baluran. Pada awalnya aku memilih Baluran karena acara trekking ke Kawah Ijen nya dimulai setelah waktu shubuh. Selain sudah panas, kami juga tidak akan bisa menikmati blue fire yang menjadi ciri khas wisata ini. Namun karena pada akhirnya jadwal keberangkatannya dimajukan menjadi ke tengah malam, aku memutuskan untuk memilih Kawah Ijen.


Berangkat dari hotel di Banyuwangi sekitar jam 12 malam. Perjalanan menuju lokasi ditempuh dalam waktu 1 jam dengan menggunakan kendaraan yang sudah disiapkan oleh EO. Sesampainya di titik lokasi awal untuk memulai trekking, kami mendapatkan penjelasan singkat mengenai rute dan kondisi jalur trekking nya. Peralatan dan kelengkapan lainnya pun sudah disiapkan. Berikut adalah peralatan yang perlu disiapkan untuk trekking:
  • Jaket (mau tipis tau tebal tidak masalah, di kesempatan kemarin aku membawa jaket tipis masih OK)
  • Sarung tangan
  • Masker (hanya digunakan ketika menuruni kawah)
  • Headlamp
  • Kupluk
  • Trekking pole (opsional, namun akan sangat membantu ketika dalam perjalanan pulang)
Berdasarkan informasi dari pemandu kami, jarak dari titik start hingga kawah ijen sekitar 3,3km dan perjalanan menuju kesana diperkirakan akan memakan waktu kurang lebih 3 jam. Jalur pendakiannya ternyata lumayan curam, dengan kemiringan sekitar 30-40 derajat. Dari sejak pintu masuk ternyata ada jasa “ojek” yang akan mengangkut pengunjung hingga bibir kawah. Sayangnya aku tidak ingat berapa tarifnya. “Ojek” disini bukanlah ojek sepeda motor, tetapi lebih mirip pengangkut barang. Jalur menuju kawah ini memang tidak boleh dilalui oleh kendaraan bermotor. Hanya petugas yang secara rutin memeriksa kondisi kawah saja yang diperbolehkan.

Setelah berjalan dan mendaki kurang lebih 1,5 jam kami sampai di tempat peristirahatan. Dimana disini ada warung yang menjual berbagai makanan dan minuman hangat. Beberapa temanku tampak kelelahan, sepertinya karena pace nya agak dipaksakan. Padahal info dari pemandu kami, waktu yang kami tempuh terhitung cepat. Pemandu kami menyarankan untuk beristirahat terlebih dahulu selama 30 menit dan melanjutkan perjalanan pada pukul 3 pagi, karena jika terlalu pagi sampai bibir kawah, dikhawatirkan suhunya terlalu dingin. Padahal ketika di tempat peristirahatan tersebut tanganku sudah berasa kaku, padahal sudah menggunakan sarung tangan.

Jalur pendakian dari tempat peristirahatan tadi menuju bibir kawah terbilang lebih landai, walaupun sedikit curam di awal-awal rute. Sehingga tidak terlalu berat untuk dilewati. Lawan terberatnya justru udara yang semakin dingin ketika mendekati puncak.

Sesampainya di bibir kawah, perjalanan dilanjutkan dengan menuruni bibir kawah menuju lokasi api biru yang berada tak jauh dari kawah. Rutenya ternyata sangat terjal dan sempit. Tidak seperti jalur sebelumnya. Disini jika berpapasan dengan pengunjung lain yang hendak naik keatas, salah satunya harus mengalah. Kami juga diharapkan memberi jalan terlebih dahulu kepada penambang belerang yang mengangkut batu belerang dari dekat kawah untuk naik ke atas menuju bibir kawah. Para penambang ini mengangkut batu belerang dengan beban kurang lebih 50 s/d 80kg untuk sekali angkut dari dekat dasar kawah, naik sejauh 300 m ke bibir kawah dan selanjutnya menuruni kawah menuju titik awal pendakian. Untuk setiap kilogram batu belerang yang mereka angkut, para penambang ini akan mendapatkan Rp1.025.

Api biru kawah Ijen

Setelah sampai di dekat api biru, kami pun segera berfoto-foto. Sayangnya modalku adalah kamera lama yang kurang sensitif terhadap cahaya, sehingga foto-foto api biru Ijen ku kurang bagus. Dan kalau mau dapat hasil yang maksimal memang seharusnya membawa tripod. Cuma PR banget kan bawa-bawa tripod untuk acara seperti ini. Kami mengambil spot yang sedikit agak jauh dari lokasi api biru, agar tidak terpapar asap belerang. Beruntung asap belerangnya mengarah ke arah berlawanan dengan arah kedatangan, sehingga kami tidak perlu menggunakan masker.

berfoto dengan latar belakang kawah Ijen
foto portrait menggunakan lensa 24mm 
Setelah puas, kami melanjutkan perjalanan kembali ke bibir kawah. PR lagi deh naik sejauh 300 m. Namun demikian rute naik lebih mudah dilalui karena kaki tidak menahan berat seperti halnya ketika turun. Karena matahari sudah mulai terbit, kami banyak berhenti di tengah-tengah pendakian untuk berfoto-foto.

deretan para pengunjung menikmati pemandangan dari bibir kawah
jalanan menanjak dan berbatu dari dasar kawah
batu belerang yang diangkut oleh penambang,
beratnya kurang lebih 50-80kg untuk sekali angkut

Kami diberitahu oleh pemandu kami, ada spot yang bagus untuk menikmati matahari terbit. Namun berhubung jaraknya kurang lebih 1,5 dari bibir kawah, rasa-rasanya lain kali saja jika ada kesempatan lagi kemari. Pada hari itu kami sangat beruntung karena cuacanya cerah dan tidak hujan. Pemandangan di bibir kawah di pagi itu juga sangat indah. Perjalanan untuk mendaki keatas memang sangat melelahkan, namun percayalah semuanya akan terbayar dengan pemandangan yang disajikan.

pemandangan dari bibir kawah
sisi lain pemandangan dari bibir kawah
Dalam kunjunganku kali ini, aku juga sekalian menjajal lensa 24mm yang sudah kuincar dari sejak lama. Hasilnya memang ternyata luar biasa, walaupun kamera yang kugunakan masih model lama dan belum full frame tetapi hasilnya diluar ekspektasiku. Lensa 24mm ini tidak seperti lensa 11-16mm yang sudah kumiliki sebelumnya yang lebih cocok untuk mengambil foto landscape tanpa ada objek orangnya. Dengan menggunakan lensa 11-16mm, foto manusia tampak menjadi sedikit kurang proporsional, sementara lensa 24mm walaupun lebar, namun untuk foto manusia dengan berlatar landscape masih oke hasilnya.

pulang, selamat tinggal kawah Ijen

siluet pegunungan dibalik matahari terbit

Perjalanan turun gunung kami tempuh lebih cepat. Ternyata gradien yang kami lewati cukup curam, baru ketahuan setelah pulangnya. Maklum waktu perjalanan naik, jalanannya gelap dan jarak pandang terbatas. Jika ketika naik yang menjadi PR adalah gradiennya yang curam, ketika turun tantangannya adalah jalanan yang berpasir. Kaki harus lebih sering menahan berat badan agar tidak terpeleset oleh pasir yang kering ataupun terjatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar