pemandangan dari spot icon Kota Sabang |
.: Hari Pertama :.
Yan Kari Kambing
Bernarsis ria di depan restoran |
Masakan Yan Kari Kambing
Rasa masakannya enak banget menurutku, namun tidak seperti masakan di Jakarta pada umumnya, bumbu nya agak sedikit kurang nendang. Bisa dibilang kurang pekat lah, jadi agak nanggung. Dan selama di Aceh, rasa-rasanya semua masakan Aceh seperti ini, bumbu rempahnya sedikit kurang nendang. Namun demikian soal minuman, orang Aceh sepertinya sangat menyukai gula. Terbukti dari minumannya yang manis-manis dan bisa dibilang terlalu banyak gulanya. Berbanding terbalik dengan masakannya.
Restorannya mulai ramai dikunjungi orang saat kami hendak melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh. Melihat dari ramainya pengunjung, wajar saja jika restoran ini sangat-sangat direkomendasikan.
Kopi Sanger |
Perjalanan selanjutnya berlanjut ke kedai kopi Solong yang berlokasi di Ulee Kareng. Kedai kopi ini konon sudah terkenal dan menjadi destinasi wajib para pecinta kopi ketika mengunjungi Aceh. Ada beberapa menu kopi yang disediakan disini, yang terkenal adalah kopi Sanger (kopi + susu). Karena ketagihan aku pesan 1 lagi namun tidak memakai susu untuk merasakan rasa asli kopi nya. Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya, orang Aceh sepertinya menyukai minuman yang kelewat manis. Kopi Sanger ini diberi gula namun belum diaduk. Belum diaduk pun menurutku sudah cukup manis. Ketika memesan pertama kali, aku lupa malah langsung aku aduk sampai gulanya larut semua. Alhasil kopi yang aku minum amit-amit manis nya.
Cara membuat kopi Sanger ini cukup unik. Para 'barista' nya menggunakan saringan dari kain untuk menyaring air kopi nya. Jadi bikin kopinya nggak satu-satu, tapi langsung sekaligus banyak. Dan membuat kopi Sanger nya pun mirip-mirip dengan pembuatan teh tarik, menyajikan atraksi tersendiri untuk para pengunjung.
Selain kopi Sanger, di kedai kopi ini juga tersedia Espresso yang kata temenku sih pembuatannya menggunakan mesin. Sayangnya di kedai ini aku tidak sempat mencoba kopi espresso nya, karena kupikir rasanya bakalan sama aja dengan kopi-kopi di Starb**k. Padahal menurut rekanku yang mencoba, rasanya cukup dahsyat.
Di Aceh, kedai kopi bertebaran dimana-mana. Di sepanjang perjalanan selalu kulihat warung kopi. Dan berbeda dengan kedai kopi di Jakarta yang tempatnya tidak terlalu luas, di Aceh pada umumnya cukup luas. Tempat duduk yang disediakan cukup banyak, menurutku bisa menampung lebih dari 30 orang pengunjung lah per warung nya.
Hotel Sabang Hill |
Sore harinya, perjalanan menuju Sabang dilanjutkan dengan menyeberang dengan menggunakan kapal Feri dari Pelabuhan Ulee Lheue menuju ke Pelabuhan Balohan di Sabang. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 45 menit. Dari Pelabuhan ini menuju Kota Sabang nya sendiri ditempuh dalam waktu 30 menit. Di tengah perjalanan, kami berhenti sejenak di salah satu spot icon Kota Sabang. Di spot ini kita bisa berfoto ria dengan latar belakang tulisan “I Love Sabang”, sementara di depannya disajikan pemandangan kota Sabang yang mengarah ke laut dilihat dari atas bukit.
Kami menginap di Hotel Sabang Hill. Sesuai dengan namanya, hotel ini berada di atas bukit, dikelilingi oleh hutan dan tanaman liar. Hotelnya cukup sederhana, jauh dari kemewahan hotel-hotel yang kita kenal di ibukota. Namun demikian, karena lokasinya yang sangat strategis berada di atas bukit, pemandangan yang disajikan pun lumayan oke. Dari atas bukit pengunjung hotel bisa melihat sebagian sisi Kota Sabang dan Teluk Sabang sambil menikmati panorama matahari tenggelam.
Sunset dari atas bukit |
Foto bersama di spot 'I Love Sabang' |
.: Hari Kedua :.
Pantai Sumur Tiga
Salah satu sumur air tawar di Pantai Sumur Tiga |
Pantainya memiliki pasir putih yang lembut. Karena ombaknya tidak terlalu besar, pantai ini cocok untuk lokasi berenang. Sayangnya dengan semua keindahan yang disajikan, kawasan pantai ini cukup sepi. Entah apakah karena kawasan ini belum terlalu dieksploitasi secara komersial atau bisa jadi karena pada saat itu hari kerja dan bukan akhir pekan. Padahal di pantai ini ada beberapa resort yang menyajikan pemandangan langsung menghadap ke laut. Resort-resort yang konon katanya dikelola oleh investor dari luar ini pun tidak terlalu ramai.Pada saat itu kulihat hanya ada beberapa bule yang sedang berjemur sambil menikmati pemandangan lepas pantai.
Pantai Sumur Tiga dilihat dari atas |
Pemandangan panorama Pantai Sumur Tiga |
Salah satu sisa peninggalan Benteng Jepang |
Destinasi berikutnya adalah Benteng Jepang yang lokasinya tak terlalu jauh dengan Pantai Sumur Tiga. Pengunjung harus berjalan dulu kurang lebih 300m untuk menuju ke lokasi benteng peninggalan Jepang ini. Benteng ini berada di atas bukit dan langsung menghadap ke laut. Konon benteng ini digunakan untuk mengawasi jika ada serangan musuh dari arah laut.
Tidak banyak yang tersisa dari benteng ini, dan menurutku sih peninggalan bentengnya biasa-biasa saja. Namun pemandangan di lokasi wisata ini cukup indah. Karena bentengnya berada di atas bukit, pengunjung bisa dengan leluas melihat lautan di depannya. Di bawah benteng ini juga ditanami rumput hijau yang menurutku cukup terawat sehingga lokasinya cocok untuk rebahan dan bersantai.
Pantai Iboih
Selepas makan siang, perjalanan dilanjutkan ke Pantai Iboih yang lokasinya di sisi sebelah barat Pulau Weh dan berjarak sekitar 20km dari Kota Sabang. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, namun karena jalanannya berkelok-kelok, perlu waktu kurang lebih 50 menit untuk mencapai titik lokasi ini dari Kota Sabang. Di seberang Pantai Iboih ini ada pulau Rubiah, yang menjadi salah satu spot favorit snorkeling.
Pantai Iboih |
Sisa sore itu kami habiskan dengan berenang dan snorkeling ria di pulau Rubiah. Perlu diketahui, bulu babi di pulau ini sangat banyak. Dari dermaga saja bisa terlihat ada puluhan bulu babi di dasar pantainya. Jadi hati-hati saja dan jangan nekat bertelanjang kaki ketika snorkeling. Disarankan untuk memakai kaki katak agar tidak menginjak bulu babi.
Habis berenang tak lengkap rasanya jika tidak menyantap mie instan. Tidak seperti Jakarta, dimana Indomie sangat mendominasi, konon di Sabang Indomie ini kurang nggreget. Yang dijual adalah Mie Sedap. Namun penyajiannya cukup unik, tidak hanya sekedar mie rebus atau mie goreng biasa, tetapi dicampur lagi dengan rempah khas Aceh. Rasanya pun lumayan mantap.
Berenang dan Snorkeling di Pulau Rubiah |
Tugu KM 0 |
Tak lengkap rasanya ke Sabang tanpa mengunjungi Tugu KM 0. Sesuai dengan namanya, tugu ini menjadi simbol titik nol Indonesia dari arah Barat. Walaupun menurut tour guide kami sih seharusnya yang menjadi titik nol atau wilayah terluar adalah Pulau Rondo yang pulaunya masih tampak terlihat dari Tugu KM 0. Namun demikian, Pulau Rondo sejatinya tidak berpenghuni dan tidak sembarangan orang bisa mengunjungi pulau ini. Pulau ini digunakan TNI sebagai pos untuk menjaga perbatasan wilayah NKRI.
Sertifikat dari mengunjungi KM 0 |
Tugu KM 0 nya sendiri ketika kami kunjungi sedang di renovasi. Dan berhubung kami datangnya sudah cukup telat, sehingga hanya sempat menikmati sunset dan berfoto ria sebentar. Bukan apa-apa sih, karena di lokasi tugu ini lokasinya cukup gelap dan tidak ada listrik/penerangan. Walaupun disana banyak warung, mereka segera tutup begitu waktu maghrib telah tiba. Sangat disayangkan juga sih, padahal lokasinya cukup nyaman untuk sekedar menikmati pemandangan ke arah laut. Seolah pemerintah kurang serius dalam mengelola salah satu lokasi wisata yang wajib dikunjungi di Pulau Weh ini.
Dan yang paling menyenangkan, kami semua yang mengunjungi lokasi ini mendapat sertifikat resmi dari Dinas Pariwisata setempat. Lumayan lah, walaupun kiriman sertifikatnya baru diterima beberapa hari setelah kunjungan. Yang penting terima beres dan ada ‘barang bukti’ nya.
.: Hari Ketiga :.
Hari ketiga menjadi hari terakhir kunjungan kami ke Aceh. Dan karena harus menyeberang lagi dari Pulau Weh ke Banda Aceh, kebanyakan waktu di hari ketiga ini kami habiskan untuk city tour di kota Banda Aceh.
Kapal PLTD Apung
Kapal PLTD Apung Aceh menjadi lokasi yang pertama kali kami kunjungi setelah menyebrang dari Pulau Weh. Kapal PLTD ini menjadi salah satu objek bersejarah peninggalan tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 silam. Bagaimana tidak, Kapal PLTD yang sebelumnya berada di pelabuhan Ulee Lheue terseret gelombang tsunami hingga masuk ke daratan sejauh kurang lebih 5km. Bayangkan saja, kapal yang beratnya lebih dari 2000 ton bisa terseret sejauh itu, menunjukkan bahwa kekuatan gelombang tsunami yang terjadi saat ini benar-benar dahsyat. Dan sejak itu, Kapal PLTD ini dibiarkan begitu saja dan dijadikan obyek wisata.
Kapal PLTD Apung
Sesuai dengan namanya, PLTD disini berarti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel. Sebelum tsunami, kapal ini menyuplai listrik ke wilayah Banda Aceh karena pada saat itu pasokan listrik di wilayah Banda Aceh tidak mencukupi karena banyak gangguan yang diakibatkan oleh konflik dengan GAM.
Di Kapal PLTD yang telah di renovasi ini, pengunjung bisa berkeliling dan melihat-lihat isi dalam kapal, walaupun ada beberapa bagian yang masih dalam renovasi sehingga tidak bisa dilalui. Di dalam kapal, pengunjung akan disuguhi berbagai informasi terkait dengan sejarah Kapal PLTD Apung, proses terjadinya tsunami yang disertai dengan ilustrasi, serta informasi yang berhubungan dengan kejadian tsunami pada tahun 2004 silam. Visualisasinya sangat menarik dan membuat betah berlama-lama untuk melahap semua informasi yang disajikan.
Sayangnya, waktu kunjungan ke lokasi ini tidak terlalu lama, sehingga tidak sempat naik ke bagian atas kapal. Karena lokasinya cukup tinggi, katanya sih dari bagian atas kapal pengunjung bisa melihat pemandangan kota Banda Aceh dari kejauhan dengan menggunakan teropong yang telah disediakan.
Berfoto bersama di depan Museum Tsunami Aceh |
Kunjungan berikutnya adalah Museum Tsunami Aceh yang lokasinya berada di tengah-tengah kota Banda Aceh. Museum ini didesain oleh Ridwan Kamil, dan menurutku secara arsitektur bangunannya tampak modern dan tentunya sangat unik jika dibandingkan dengan bangunan-bangunan di sekitarnya. Museum ini juga berfungsi sebagai tempat perlindungan darurat jika seandainya terjadi lagi bencana tsunami, karena gedungnya cukup tinggi dan berada di pusat kota.
IMHO, tak seperti Kapal PLTD Apung yang memberikan banyak informasi dan visualisasi yang menarik, di Museum Tsunami Aceh tak banyak informasi yang bisa didapat kecuali mungkin banyak bertanya ke petugas tour guide nya. Mungkin karena museum ini didesain sebagai monumen simbolis untuk mengenang bencana tsunami di 2004 silam kali yah, sehingga di museum ini pengunjung akan banyak menemukan diorama-diorama dan simbol-simbol yang mengacu ke kejadian tsunami nya.
Jembatan Perdamaian |
Selanjutnya pengunjung akan menyebrangi jembatan yang dinamakan Jembatan Perdamaian. Dinamakan Jembatan Perdamaian untuk menggambarkan kondisi Aceh pasca tsunami yang berdamai dari konflik. Jika kita melihat ke bagian atas, terdapat tulisan yang berarti ‘damai’ dalam beberapa bahasa asing yang merepresentasikan negara-negara yang membantu Aceh.
Mesjid Baiturrahman |
Destinasi berikutnya adalah Mesjid Baiturrahman. Namun kami tidak berlama-lama disini karena waktunya sudah cukup mepet dari jawal, hanya sekedar menumpang sholat dzuhur saja. Pada saat kami kunjungi bagian halaman depan mesjid ini sedang di renovasi, sehingga aku tak bisa mengambil fotonya dari depan. Alasan tak berlama-lama juga karena siang itu sangat terik, dan waktu itu kami dikabari bahwa setelah waktu sholat dzuhur akan diadakan semacam acara diskusi & debat dan ada potensi acara in akan menyedot banyak jemaah dan mengakibatkan macet.
Penampakan di salah satu sudut Rumoh Aceh |
Kami makan siang di Warong Rumoh Aceh. Rasa masakannya menurutku lumayan lah, khas Aceh dengan bumbu dan rempah yang ‘nanggung’. Namun yang kami cari adalah Kopi Gayo nya yang konon cukup terkenal. Salah satu tur guide kami adalah salah satu tenaga marketing Kopi Rumoh Aceh, jadi beliau tahu banget lah kopi yang recommended dan mana yang bukan. Dan memang kopi Rumoh Aceh ini aromanya dahsyat.
Ada 3 jenis kopi yang dijual disini: Red Cherry, Old Coffee, dan Kopi Luwak. Red Cherry dijual dalam kemasan 100 dan 250 gr, sementara Old Coffee dijual dalam kemasan 250 gr saja. Disini kita bisa memilih apakah mau kopi yang sudah digiling (ground) ataukah yang masih berupa biji (beans).
Kopi Red Cherry |
Nah, akhirnya sih aku beli Red Cherry, dan berhubung di rumah sudah punya grinder sendiri, aku membeli kemasan yang belum digiling. Kupikir nggak worth lah, mengeluarkan 175 rb lebih banyak untuk rasa yang tidak terlalu berbeda jauh secara signifikan. Huehehe
Demikianlah cerita perjalanan ke Aceh kali ini. Dari semua harapan kami ketika mengunjungi Aceh, ada satu yang terlewat: menyantap Mie Aceh. Sayang kami tidak sempat untuk menjajal salah satu masakan wajib tersebut karena waktu yang terbatas. Mungkin next time lah kalau sempat kesini lagi.
Selamat siang kawan traveling
BalasHapusKami rental mobil dari Banda Aceh Dan Sabang
menawarkan jasa transport dan paket tour
antara lain :
Overland Banda Aceh & Sabang
City tour banda aceh dan sabang
Droop in out hotel di Banda Aceh dan Sabang
Droop airport Bandara Sultan Iskandar Muda
Kunjungan Dinas
Family Gathering
Event Organizer
Wisata Religi
Rental Mobil + Supir
Unit tersedia :
Innova
Avanza
Ayla
Elf 11 s/d 18 seat
untuk selanjutnya info dan reserpasi
Rental Mobil B.Aceh & Sabang
Jln Kasturi no 58 Kampung Keuramat Banda Aceh .
Call +6281263979828
WA .+6281263979828
email . keretasewaacheh2017@gmail.com
"kepuasan konsumen suatu kebanggaan bagi kami"
sangat keren dan menarik ceritanya
BalasHapusagen viagra
pil biru
obat hammer