Sebagai penggemar karya-karya Dee, rasanya memang sayang untuk melewatkan filmnya. Namun jujur saja aku sedikit kecewa dengan Perahu Kertas. Walaupun konon mendapat sambutan yang cukup baik dari para penggemar karya-karya Dee, namun menurutku biasa saja dan cenderung mengecewakan. Dari sisi cerita sih memang lumayan oke, namun akting para pemainnya menurutku terlalu kaku dan kurang natural. Dari pengalaman tersebut, aku tidak berharap lebih pada film ini. Tadinya sih mau nunggu review dari orang-orang yang sudah menontonnya. Tapi apa mau dikata, udah diajakin duluan nonton sama istri.
Tak seperti bukunya yang berisi 11 cerita pendek, dalam versi filmnya hanya ada 5 cerita yang diangkat: Malaikat Juga Tahu, Firasat, Cicak Di Dinding, Curhat Buat Sahabat, dan Hanya Isyarat. Kelima cerita tersebut memiliki tema yang sama sesuai dengan tagline filmnya: Cinta yang tak Terucap. Pada versi filmnya, ceritanya dibuat lebih berkembang, sehingga memudahkan penonton dalam memahami alur ceritanya. Kalau baca versi bukunya sih memang agak-agak aneh, karena selain ceritanya benar-benar pendek, plotnya langsung to the point, tidak menekankan pada ending cerita, tapi pesan yang ingin disampaikan penulisnya cukup jelas.
Diantara kelima cerita yang disajikan, Malaikat Juga Tahu menurutku yang paling oke. Ceritanya sangat menyentuh, dan didukung oleh akting Lukman Sardi yang patut diacungi jempol. Ending ceritanya pun sangat emosional dan menguras air mata. Far more better lah dibandingkan dengan versi bukunya. Bukan ceritanya yang lebih bagus loh ya, tapi kesan yang didapatkan pada versi filmnya jauh lebih dramatis. Nggak heran banyak penonton cewek yang nangis setelah menonton filmnya.
Pada cerita yang kedua: Firasat, plotnya menurutku agak membosankan dan terkesan bertele-tele. Memang sih, akting Asmirandah dan Widyawati sebai Senja dan ibunya lumayan oke disini. Namun, tokoh Panca yang diperankan oleh Dwi Sasono kok agak-agak hambar yah. Antara Senja dan Panca chemistry nya kurang terlihat dan terkesan kaku. Namun demikian, jika dibandingkan dengan cerita yang lainnya, Firasat paling filosofis. Menurutku pesan moral dari cerita ini cukup mendalam. Salah satu quote terbaik dari cerita ini: terkadang satu-satunya pilihan terbaik adalah menerima. Sederhana, namun penuh makna.
Cicak Di Dinding adalah salah satu cerita favoritku dalam buku Rectoverso. Pada versi bukunya ending ceritanya dikisahkan secara dramatis, dan hal ini membuatku berharap versi filmnya tentunya harus jauh lebih oke dong. Dalam versi film, aku sedikit kecewa karena ceritanya dikisahkan secara vulgar (seingatku sih versi bukunya nggak begini-begini amat), dan akhir ceritanya pun terkesan kurang dramatis karena ada adegan tambahan yang menurutku nggak perlu (mana vulgar pula). Yang sudah baca bukunya sih pasti tahu perbedaannya. Yang patut diacungi jempol adalah pemeran tokoh-tokohnya: Sophia Latjuba, Yama Karlos, dan Tio Pakusadewo yang mampu memerankan karakter tokoh-tokohnya dengan sangat baik. Mungkin karena ada adegan vulgarnya kali yah, jadi yang dipilih adalah pemain yang udah senior.
Kisah Curhat Buat Sahabat mungkin adalah salah satu kisah yang paling menghibur dalam film ini. Well.. ada satu adegan yang membuat para penonton tertawa cukup lepas. Akting Acha Septriasa yang memerankan tokoh Amanda patut diacungi jempol. Bisa dibilang sangat lepas dan emosional, terlihat benar-benar menjiwai perannya. Kebalikannya dengan Indra Birowo yang memerankan Regi, yang banyak diam dan mendengarkan curhatan Amanda. Dalam cerita ini, penonton bisa mendengarkan langsung lagu Curhat Buat Sahabat yang langsung dinyanyikan oleh Acha Septriasa.
Hanya Isyarat mungkin menjadi cerita dengan plot yang paling sederhana, dengan setting di sebuah bar di pinggir pantai. Komen nggak pentingku: walaupun temanya sama-sama tentang cinta, namun dalam cerita ini, si tokoh utamanya bercerita kalau dia jatuh cinta, walaupun nggak disebutkan juga sih dia sebenarnya jatuh cinta pada tokoh yang dalam cerita yang sama. Jadi tagline Cinta Yang Tak Terucap agak-agak tidak berlaku disini. Kembali ke topik semula, walaupun plotnya sederhana, namun ceritanya cukup filosofis dan mendalam. Walaupun tokoh Al yang diperankan oleh Amanda Soekasah agak-agak kaku, tapi secara keseluruhan oke lah. Quote favoritku yang kurang lebih sama dengan cerita di bukunya: “Sahabat saya itu adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggup miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki.”
Secara keseluruhan, film ini aku rekomendasikan untuk ditonton, khususnya buat penggemar karya-karya Dewi Lestari. Buat yang belum baca bukunya, disarankan untuk beli dan baca juga. Nggak rugi lah. Yah, semoga saja 6 sisa ceritanya akan dilanjutkan dalam layar lebar juga. Sudah nggak sabar untuk menonton lanjutannya :).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar