Aku telah kalah
Dan kini aku sendiri
Berdiri ditengah kesunyian
Menatap keramaian nun jauh disana
Aku tinggalkan bayanganku
Di tempat aku berdiri
Selamat tinggal masa lalu
Ku akan kembali melangkah
Semuanya telah berlalu
Dan biarkanlah ini berlalu dengan indah
Akan kuingat jejak langkahku
Tercipta dalam ingatanku selamanya
Selasa, Juni 30, 2009
Kamis, Juni 18, 2009
Karena Wanita Membutuhkan Rasa Aman
Dalam tulisanku kali ini, aku mencoba untuk menguraikan pendapat-pendapat serta opini-opiniku seputar potongan kehidupan setelah menikah. Info yang aku dapat tentunya aku dapatkan dari orang-orang sekitarku baik itu teman kerja maupun keluarga sendiri. Namun semuanya dari pihak laki-laki (jadi bisa disimpulkan tulisan ini sangat sangat subyektif). Sayang aja nih nggak dapet infonya dari pihak wanitanya, maklum untuk urusan beginian siapa juga yang mau cerita :P.
Masa-masa lajang adalah masa-masa penuh kebebasan. Belum ada beban dan tanggungan, gaji juga masih utuh, pos-pos pengeluaran belum terlalu banyak *kecuali orangnya boros*. Sementara itu setelah menikah, pengeluaran menjadi lebih banyak, ada tanggungan istri dan anak, sehingga semua yang menyangkut masalah keuangan harus didiskusikan dulu, walaupun itu untuk kepentingan keluarga sekalipun. Itulah kata mereka, laki-laki yang telah menikah, yang ceramahnya seringkali kudengar.
Ungkapan dan sindiran seperti "Wah, itu mesti di acc sama menteri keuangan dulu" sudah menjadi jamak di lingkungan kantorku, terutama dari suami-suami yang istrinya memang tinggal di rumah dan tidak bekerja. Bahkan walaupun sang istri sudah bekerja sekalipun, tetap saja pengeluaran si suami mesti di-acc dulu. Tak heran, untuk membeli barang yang katakanlah nggak terlalu mahal dan nggak aneh-aneh pula *dalam artian masih sangat terjangkau sekalipun* tapi bukan termasuk kebutuhan primer, perlu persetujuan istri dulu *pernyataan yang ini sih aku dengar dari teman perempuanku sendiri yang telah menikah*.
Berhubung aku sendiri belum menikah dan belum mengalami masalah-masalah seperti itu, muncullah berbagai pertanyaan yang tak bisa aku pahami. Jika aku membuat sebuah daftar pertanyaan mengenai masalah ini, kira-kira hasilnya akan seperti ini:
- Apakah kekuasaan istri itu sedemikian tingginya sehingga dia adalah orang yang berhak untuk meng-acc segala pengeluaran? Pertanyaan ini berlanjut dengan: Lantas apakah kuasa suami sang pencari nafkah sangat kecil pada uang yang diperolehnya? Aneh memang. Apakah semua ini terjadi karena suami tidak bisa dipercaya untuk memegang uang atau karena kebanyakan suami adalah tipe-tipe pemboros yang selalu mementingkan kepentingannya sendiri dibandingkan dengan kepentingan keluarganya? Ataukah suami biasanya cenderung malas untuk memegang uang dan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan keuangan kepada istri?
- Bagaimana status uang yang diperoleh oleh suami? Apakah sepenuhnya milik istrinya? Secara istri yang meng-acc semua pengeluaran. Seringkali aku mendengar istilah seperti ini: "Uang suami adalah uang istri, uang istri adalah uang istri." Terdengar tak adil. Memang. Ada yang salah. Dalam pemahaman agamaku, uang suami adalah uang suami, uang istri adalah uang istri, tetapi suami wajib menafkahi istri dan keluarganya. Disini berarti suami seharusnya bisa mengontrol secara penuh masalah keuangannya. Istri seharusnya menerima lah, selama dalam batas yang wajar, sesuai yang aku pelajari dalam hadis-hadis hshahih. Dalam Islam kan nggak dikenal harta gono-gini. Harta milik suami ya nggak bisa di-klaim oleh istrinya. Tapi kenapa yang terjadi seolah harta suami ya harta istri juga.
- Sebenarnya suami itu terpaksa atau sukarela yah dengan keadaan yang seperti ini? Habisnya seringkali mereka berkata seperti ini: "Kamu enak tuh masih lajang, beli aja barang-barang yang kamu suka selagi masih bebas. Nanti kalo sudah nikah susah lho, mesti ada yang meng-acc dulu". Kalo mendengar pernyataan diatas, sepertinya mereka terpaksa melakukan itu semua, dan seolah-olah iri dengan status kelajangan teman-teman mereka sendiri.
Walaupun cuma tiga poin, tapi pertanyaannya membuat pening.
Selain itu, sedikit menyimpang dari topik utama, saat ini jarang sekali wanita *yang belum menikah* yang aku temui yang benar-benar ingin menjadi ibu rumah tangga, dalam arti dia tidak bekerja dan mengejar karir. Kebanyakan dari mereka menginginkan tetap bekerja setelah menikah. Ada selusin alasan mengapa mereka menginginkan tetap bekerja: ingin mengejar karir dan maju, ingin mandiri, ingin tidak tergantung pada suaminya just in case terjadi apa-apa pada suaminya, dan alasan-alasan lain. Alasan-alasan yang berhubungan dengan anak ataupun apapun seolah tak pernah terbahas. Dari sini aku melihat adanya kekurangpercayaan istri pada suaminya. Agak-agak aneh aja, perempuan diciptakan sebagai pelengkap untuk laki-laki dan begitu pula sebaliknya. Ini kok malah ingin mandiri, padahal manusia sendiri adalah makhluk sosial yang tak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Terdengar agak-agak aneh.
Dari sini aku mencoba menarik sebuah pertanyaan lain. Dari semua kasus, bisa aku simpulkan bahwa wanita cenderung takut dan cemas akan hal-hal yang menurutku belum tentu terjadi seperti: suami meninggal duluan, suami selingkuh, suami bersenang-senang sendiri dengan uang yang dia peroleh, uang yang dimiliki tak cukup, dan segenap pikiran-pikiran yang lebih mengarah kepada prasangka yang nggak-nggak. Dan untuk mengurangi resiko terjadinya hal-hal diatas, mereka cenderung untuk menginginkan bekerja secara mandiri dan atau menuntut hak pengelolaan atas pemasukan yang diperoleh oleh suami. Benarkah demikian? I don't know lah. Aku bukan wanita, dan terlebih lagi belum menikah pula.
Yang menarik lagi ada salah satu kerabatku *laki-laki tentunya* yang sudah menikah dan bercerita padaku bahwa semua harta benda yang dia miliki atas nama istrinya. Agak-agak kaget juga mendengarnya. Pertanyaan selanjutnya: Apakah ini merupakan cara yang bijak dan tidak berlebihan? Ataukah memang kerabatku sangat sangat murah hati dan sangat mencintai istrinya atau memang karakter istri cenderung lebih 'menguasai'? Cerita selanjutnya dari kerabatku ini yang menurutku bisa menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya adalah: "Karena wanita membutuhkan rasa aman".
Jawaban yang sangat masuk akal dan bisa menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan yang ada. Hmm.. anggap saja ini adalah jawaban yang benar dan menjadi kesimpulan dari semua hal diatas. Maka itu berarti wanita bukan bermaksud untuk menguasai, tetapi lebih didorong oleh kebutuhan akan rasa aman. Dari sisi suami, bukan berarti suami kurang berkuasa atau terlalu mudah diatur oleh istrinya, tetapi mungkin sebagai wujud kasih sayang dan kepercayaan yang diberikan kepada istri sehingga bisa memberikan rasa aman. Nah, nyambung kan dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya? Jadi, suami mengalah dan mengorbankan kepentingan pribadinya untuk kepentingan istrinya: yang kesimpulannya menurutku adalah adalah suami yang seperti ini tentu sangat menyayangi istrinya. Asal jangan sampai disalahgunakan aja tuh kepercayaan yang didapat. Terkait dengan wanita yang ingin tetap bekerja, tentu berhubungan dengan jawaban diatas. Bekerja agar mereka merasa aman dari sisi finansial.
Pertanyaan berikutnya adalah: Apakah kondisi ini memang sudah ideal? Apakah suami tidak terlalu memanjakan istrinya jika seperti ini? Apakah memang tidak ada jalan lain untuk mengelola keuangan secara lebih fair, mengingat suami juga memiliki hak atas pemasukan yang dia peroleh, selama menurutku hak untuk keluarga telah diberikan secara fair. Mungkin memang kecenderungannya seperti ini, dimana memang wanita itu adalah sebaik-baiknya perhiasan bagi kaum pria. Efeknya adalah: laki-laki sangat mudah sekali terpengaruh oleh wanita, dan bahkan bisa hancur hidupnya karena urusan ini *sudah banyak kasus seperti ini*. Bahkan dalam sebuah hadis disebutkan bahwa wanita adalah fitnah terbesar untuk kaum pria.
Wanita memang membutuhkan rasa aman, that's why dalam urusan pernikahan wanita cenderung membutuhkan kepastian dan menikah sesegera mungkin, sementara dari sudut pandang laki-laki, cenderung berpikir lebih dulu karena pernikahan berarti komitmen, dan artinya banyak hal-hal yang tadinya bebas dilakukan menjadi tak bebas dilakukan. Benarkah demikian? Well.. kayaknya butuh masukan dan opini dari sudut pandang perempuan nih. Terutama yang sudah menikah.
Masa-masa lajang adalah masa-masa penuh kebebasan. Belum ada beban dan tanggungan, gaji juga masih utuh, pos-pos pengeluaran belum terlalu banyak *kecuali orangnya boros*. Sementara itu setelah menikah, pengeluaran menjadi lebih banyak, ada tanggungan istri dan anak, sehingga semua yang menyangkut masalah keuangan harus didiskusikan dulu, walaupun itu untuk kepentingan keluarga sekalipun. Itulah kata mereka, laki-laki yang telah menikah, yang ceramahnya seringkali kudengar.
Ungkapan dan sindiran seperti "Wah, itu mesti di acc sama menteri keuangan dulu" sudah menjadi jamak di lingkungan kantorku, terutama dari suami-suami yang istrinya memang tinggal di rumah dan tidak bekerja. Bahkan walaupun sang istri sudah bekerja sekalipun, tetap saja pengeluaran si suami mesti di-acc dulu. Tak heran, untuk membeli barang yang katakanlah nggak terlalu mahal dan nggak aneh-aneh pula *dalam artian masih sangat terjangkau sekalipun* tapi bukan termasuk kebutuhan primer, perlu persetujuan istri dulu *pernyataan yang ini sih aku dengar dari teman perempuanku sendiri yang telah menikah*.
Berhubung aku sendiri belum menikah dan belum mengalami masalah-masalah seperti itu, muncullah berbagai pertanyaan yang tak bisa aku pahami. Jika aku membuat sebuah daftar pertanyaan mengenai masalah ini, kira-kira hasilnya akan seperti ini:
- Apakah kekuasaan istri itu sedemikian tingginya sehingga dia adalah orang yang berhak untuk meng-acc segala pengeluaran? Pertanyaan ini berlanjut dengan: Lantas apakah kuasa suami sang pencari nafkah sangat kecil pada uang yang diperolehnya? Aneh memang. Apakah semua ini terjadi karena suami tidak bisa dipercaya untuk memegang uang atau karena kebanyakan suami adalah tipe-tipe pemboros yang selalu mementingkan kepentingannya sendiri dibandingkan dengan kepentingan keluarganya? Ataukah suami biasanya cenderung malas untuk memegang uang dan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan keuangan kepada istri?
- Bagaimana status uang yang diperoleh oleh suami? Apakah sepenuhnya milik istrinya? Secara istri yang meng-acc semua pengeluaran. Seringkali aku mendengar istilah seperti ini: "Uang suami adalah uang istri, uang istri adalah uang istri." Terdengar tak adil. Memang. Ada yang salah. Dalam pemahaman agamaku, uang suami adalah uang suami, uang istri adalah uang istri, tetapi suami wajib menafkahi istri dan keluarganya. Disini berarti suami seharusnya bisa mengontrol secara penuh masalah keuangannya. Istri seharusnya menerima lah, selama dalam batas yang wajar, sesuai yang aku pelajari dalam hadis-hadis hshahih. Dalam Islam kan nggak dikenal harta gono-gini. Harta milik suami ya nggak bisa di-klaim oleh istrinya. Tapi kenapa yang terjadi seolah harta suami ya harta istri juga.
- Sebenarnya suami itu terpaksa atau sukarela yah dengan keadaan yang seperti ini? Habisnya seringkali mereka berkata seperti ini: "Kamu enak tuh masih lajang, beli aja barang-barang yang kamu suka selagi masih bebas. Nanti kalo sudah nikah susah lho, mesti ada yang meng-acc dulu". Kalo mendengar pernyataan diatas, sepertinya mereka terpaksa melakukan itu semua, dan seolah-olah iri dengan status kelajangan teman-teman mereka sendiri.
Walaupun cuma tiga poin, tapi pertanyaannya membuat pening.
Selain itu, sedikit menyimpang dari topik utama, saat ini jarang sekali wanita *yang belum menikah* yang aku temui yang benar-benar ingin menjadi ibu rumah tangga, dalam arti dia tidak bekerja dan mengejar karir. Kebanyakan dari mereka menginginkan tetap bekerja setelah menikah. Ada selusin alasan mengapa mereka menginginkan tetap bekerja: ingin mengejar karir dan maju, ingin mandiri, ingin tidak tergantung pada suaminya just in case terjadi apa-apa pada suaminya, dan alasan-alasan lain. Alasan-alasan yang berhubungan dengan anak ataupun apapun seolah tak pernah terbahas. Dari sini aku melihat adanya kekurangpercayaan istri pada suaminya. Agak-agak aneh aja, perempuan diciptakan sebagai pelengkap untuk laki-laki dan begitu pula sebaliknya. Ini kok malah ingin mandiri, padahal manusia sendiri adalah makhluk sosial yang tak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Terdengar agak-agak aneh.
Dari sini aku mencoba menarik sebuah pertanyaan lain. Dari semua kasus, bisa aku simpulkan bahwa wanita cenderung takut dan cemas akan hal-hal yang menurutku belum tentu terjadi seperti: suami meninggal duluan, suami selingkuh, suami bersenang-senang sendiri dengan uang yang dia peroleh, uang yang dimiliki tak cukup, dan segenap pikiran-pikiran yang lebih mengarah kepada prasangka yang nggak-nggak. Dan untuk mengurangi resiko terjadinya hal-hal diatas, mereka cenderung untuk menginginkan bekerja secara mandiri dan atau menuntut hak pengelolaan atas pemasukan yang diperoleh oleh suami. Benarkah demikian? I don't know lah. Aku bukan wanita, dan terlebih lagi belum menikah pula.
Yang menarik lagi ada salah satu kerabatku *laki-laki tentunya* yang sudah menikah dan bercerita padaku bahwa semua harta benda yang dia miliki atas nama istrinya. Agak-agak kaget juga mendengarnya. Pertanyaan selanjutnya: Apakah ini merupakan cara yang bijak dan tidak berlebihan? Ataukah memang kerabatku sangat sangat murah hati dan sangat mencintai istrinya atau memang karakter istri cenderung lebih 'menguasai'? Cerita selanjutnya dari kerabatku ini yang menurutku bisa menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya adalah: "Karena wanita membutuhkan rasa aman".
Jawaban yang sangat masuk akal dan bisa menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan yang ada. Hmm.. anggap saja ini adalah jawaban yang benar dan menjadi kesimpulan dari semua hal diatas. Maka itu berarti wanita bukan bermaksud untuk menguasai, tetapi lebih didorong oleh kebutuhan akan rasa aman. Dari sisi suami, bukan berarti suami kurang berkuasa atau terlalu mudah diatur oleh istrinya, tetapi mungkin sebagai wujud kasih sayang dan kepercayaan yang diberikan kepada istri sehingga bisa memberikan rasa aman. Nah, nyambung kan dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya? Jadi, suami mengalah dan mengorbankan kepentingan pribadinya untuk kepentingan istrinya: yang kesimpulannya menurutku adalah adalah suami yang seperti ini tentu sangat menyayangi istrinya. Asal jangan sampai disalahgunakan aja tuh kepercayaan yang didapat. Terkait dengan wanita yang ingin tetap bekerja, tentu berhubungan dengan jawaban diatas. Bekerja agar mereka merasa aman dari sisi finansial.
Pertanyaan berikutnya adalah: Apakah kondisi ini memang sudah ideal? Apakah suami tidak terlalu memanjakan istrinya jika seperti ini? Apakah memang tidak ada jalan lain untuk mengelola keuangan secara lebih fair, mengingat suami juga memiliki hak atas pemasukan yang dia peroleh, selama menurutku hak untuk keluarga telah diberikan secara fair. Mungkin memang kecenderungannya seperti ini, dimana memang wanita itu adalah sebaik-baiknya perhiasan bagi kaum pria. Efeknya adalah: laki-laki sangat mudah sekali terpengaruh oleh wanita, dan bahkan bisa hancur hidupnya karena urusan ini *sudah banyak kasus seperti ini*. Bahkan dalam sebuah hadis disebutkan bahwa wanita adalah fitnah terbesar untuk kaum pria.
Wanita memang membutuhkan rasa aman, that's why dalam urusan pernikahan wanita cenderung membutuhkan kepastian dan menikah sesegera mungkin, sementara dari sudut pandang laki-laki, cenderung berpikir lebih dulu karena pernikahan berarti komitmen, dan artinya banyak hal-hal yang tadinya bebas dilakukan menjadi tak bebas dilakukan. Benarkah demikian? Well.. kayaknya butuh masukan dan opini dari sudut pandang perempuan nih. Terutama yang sudah menikah.
Sabtu, Juni 13, 2009
Terapi Jantung
Pernahkan anda menghampiri sesuatu yang selama ini selalu anda hindari? Bisa berupa apa saja, termasuk didalamnya ketakutan terhadap sesuatu. Yeah, dalam beberapa hari kebelakang, aku akhirnya mencoba untuk melakukan sesuatu yang tak pernah aku lakukan selama ini, dan sangat-sangat aku hindari: menonton film horor, di bioskop pula lagi. Selama ini aku memang tak cukup memiliki nyali untuk menonton film-film horor. Dari cerita ibuku sih, sepertinya aku pernah ketakutan menonton film horor ketika aku masih kecil.
Bermula dari ajakan seorang teman untuk mengajak nonton di sebuah bioskop di kawasan kuningan. Berhubung belakangan ini sudah suntuk dengan pekerjaan di kantor, aku terima ajakan ini. Sebelumnya aku tak bermasalah untuk menonton film apa saja setelah melihat jadwal film yang sedang tampil tak ada yang aneh-aneh. Setelah diputuskan, aku baru ngeh ternyata genre film yang akan ditonton adalah film horor. @&$!
Kupikir tadinya ini merupakan ide yang bagus. Siapa tahu sebenarnya aku tak bermasalah, hanya pengalaman buruk masa kecil saja yang membuatku berusaha menghindari film tersebut. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Walaupun ketika menonton filmnya aku sedikit ketakutan, tapi setidaknya aku masih bisa tenang. Tapi entah kenapa setelah film selesai, pikiranku menjadi tidak fokus dan tidak nyaman. Detak jantung meningkat dengan cepat dan aku tak bisa merasa tenang. Bahkan sampai berkeringat setelahnya dalam waktu yang cukup lama. Gejala-gejala yang mirip seperti orang yang shock. Entah kapan terakhir aku merasakan sindrom seperti ini. Terakhir aku ingat setelah aku kecopetan di bus dulu.
Mengerikan sekali efeknya, bahkan aku sendiri tak mengerti mengapa bisa terjadi seperti ini. Lebih parah efeknya dari minum kopi yang pernah kuminum yang kafeinnya paling kuat sekalipun. Sepertinya ini adalah emosi akibat suatu kejadian baru yang sebelumnya tak pernah atau jarang aku rasakan. Entahlah rasanya setiap kali mengalami suatu kejadian yang mendebarkan aku selalu merasa tak tenang dan tak nyaman selama beberapa saat. Sepertinya kedepannya menonton film horor lebih sering adalah ide yang cukup bagus untuk menghilangkan rasa tak tenang itu.
Bermula dari ajakan seorang teman untuk mengajak nonton di sebuah bioskop di kawasan kuningan. Berhubung belakangan ini sudah suntuk dengan pekerjaan di kantor, aku terima ajakan ini. Sebelumnya aku tak bermasalah untuk menonton film apa saja setelah melihat jadwal film yang sedang tampil tak ada yang aneh-aneh. Setelah diputuskan, aku baru ngeh ternyata genre film yang akan ditonton adalah film horor. @&$!
Kupikir tadinya ini merupakan ide yang bagus. Siapa tahu sebenarnya aku tak bermasalah, hanya pengalaman buruk masa kecil saja yang membuatku berusaha menghindari film tersebut. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Walaupun ketika menonton filmnya aku sedikit ketakutan, tapi setidaknya aku masih bisa tenang. Tapi entah kenapa setelah film selesai, pikiranku menjadi tidak fokus dan tidak nyaman. Detak jantung meningkat dengan cepat dan aku tak bisa merasa tenang. Bahkan sampai berkeringat setelahnya dalam waktu yang cukup lama. Gejala-gejala yang mirip seperti orang yang shock. Entah kapan terakhir aku merasakan sindrom seperti ini. Terakhir aku ingat setelah aku kecopetan di bus dulu.
Mengerikan sekali efeknya, bahkan aku sendiri tak mengerti mengapa bisa terjadi seperti ini. Lebih parah efeknya dari minum kopi yang pernah kuminum yang kafeinnya paling kuat sekalipun. Sepertinya ini adalah emosi akibat suatu kejadian baru yang sebelumnya tak pernah atau jarang aku rasakan. Entahlah rasanya setiap kali mengalami suatu kejadian yang mendebarkan aku selalu merasa tak tenang dan tak nyaman selama beberapa saat. Sepertinya kedepannya menonton film horor lebih sering adalah ide yang cukup bagus untuk menghilangkan rasa tak tenang itu.
Kamis, Juni 11, 2009
Can We Stop For A While?
It was a frantic day. Everyday is a frantic day. For this late month, everyone looks so busy with their own assignment. After my company made a great step to reorganize its structural organization especially on commerce directorate, everything was changed. Our leader challenges all of employees to make more profit by monetizing every opportunity regardless whether it is tangible or not.
For some reasons, I agree with statement above. We have to do our best to increase our revenue. As its impact, now everyone is busy: a lot of homeworks to be accomplished. For short period of time, it sounds good. But for longer period of time it triggers stress and other negative disorders.
Peoples sitting arround me now look so serious. A little mistake can trigger their negative emotion. They sometime express their displeasure or dissatisfaction of their own circumtance by complaining to themselves. I am quite sure that they don't realize that, but peoples around him would sense it. Moreover, they are more likely to speak dirty words. Even they looks usual and ordinary, but they can't hide their true expression.
The situation become worse and worse. Senior manager are challenged to make new innovative products to make more profit. They evaluate and break down the goals into smaller objectives and then pass it to their managers. Managers do the same and pass it to their staff. This means more works to be done. Because there are a lot of assignments to be done, all staffs should rearrange them and make a priority which assignment need to be done first. It means, some assignments would be placed on lower priority and would never be done, believe me.
This situation affects me as well. I can't focus on one assignment and completely finish if before I manage to solve another one. I have to finish several assignments at once, like a concept known as multithreading. But how much time need to be wasted just only to switch from one assignment to another one. But that's the problem: I have no time to ask and complain about this, what I have to do is finishing as many as I'm able to do.
So what's the solution? I think, our management should see this situation is not good for long period of time. Otherwise, perhaps all staffs in my directorate need to learn how to manage time efficiently in a proper way. Anger and emotion management could be added as an optional solution as well.
For some reasons, I agree with statement above. We have to do our best to increase our revenue. As its impact, now everyone is busy: a lot of homeworks to be accomplished. For short period of time, it sounds good. But for longer period of time it triggers stress and other negative disorders.
Peoples sitting arround me now look so serious. A little mistake can trigger their negative emotion. They sometime express their displeasure or dissatisfaction of their own circumtance by complaining to themselves. I am quite sure that they don't realize that, but peoples around him would sense it. Moreover, they are more likely to speak dirty words. Even they looks usual and ordinary, but they can't hide their true expression.
The situation become worse and worse. Senior manager are challenged to make new innovative products to make more profit. They evaluate and break down the goals into smaller objectives and then pass it to their managers. Managers do the same and pass it to their staff. This means more works to be done. Because there are a lot of assignments to be done, all staffs should rearrange them and make a priority which assignment need to be done first. It means, some assignments would be placed on lower priority and would never be done, believe me.
This situation affects me as well. I can't focus on one assignment and completely finish if before I manage to solve another one. I have to finish several assignments at once, like a concept known as multithreading. But how much time need to be wasted just only to switch from one assignment to another one. But that's the problem: I have no time to ask and complain about this, what I have to do is finishing as many as I'm able to do.
So what's the solution? I think, our management should see this situation is not good for long period of time. Otherwise, perhaps all staffs in my directorate need to learn how to manage time efficiently in a proper way. Anger and emotion management could be added as an optional solution as well.
Rabu, Juni 10, 2009
Asahlah Gergajimu
Dua kata diatas merupakan salah satu dari 7 kebiasaan yang diperkenalkan oleh Stephen Covey dalah bukunya. Ketika pertama kali membacanya, tak terpikir apa maksud dari kata-kata tersebut. Asahlah gergajimu berarti jangan sampai kita terlalu sibuk menggergaji kayu hingga lupa mengasahnya. Contoh lain dalam bukunya yang aku ingat adalah: jangan keasyikan menyetir hingga lupa mengisi bensin. Jika dianalogikan kedalam kehidupan sehari-hari bisa diartikan sebagai: jangan terlalu sibuk bekerja hingga lupa waktu untuk beristirahat.
Dalam satu minggu terakhir, aku mencoba menerapkan secara konsisten aturan diatas. Datang dan pulang kantor tepat waktu. Diluar jam kantor, sebisa mungkin aku tak terlibat dengan apapun yang berkaitan dengan pekerjaanku. Dengan memaksa keadaan seperti ini, aku memiliki waktu luang yang jauh lebih banyak. Penekananku disini waktu diluar jam kantor benar-benar aku gunakan untuk rileks, bukannya aku gunakan untuk hal-hal lain semacam berkeluyuran kemana-mana sehingga pulang ke rumah terlalu larut.
Semakin capat aku pulang ke rumah, semakin banyak waktu yang aku miliki untuk istirahat. Waktu istirahat ini jika diakumulasikan dalam 5 hari kerja, sudah cukup untuk membuat akhir pekan menjadi lebih senggang. Aku tak perlu berhibernasi untuk membayar utang tidur karena terlalu capai atau pulang terlalu larut di hari-hari kerja. Hal-hal lain yang bisa aku dapatkan adalah aku bisa mengerjakan hal-hal lain yang tentunya diluar pekerjaanku seperti membaca, merencanakan sesuatu, istirahat, dan belajar sesuatu yang baru. Efek yang paling terasa adalah lebih terbukanya pikiran, sehingga memungkinkan terciptanya ide-ide baru yang kurasa tak akan pernah muncul ketika setiap hari tubuh terlalu dibebani dengan berbagai macam pekerjaan dan pikiran. Dengan semakin banyaknya waktu luang yang aku miliki, memungkinkanku untuk berpikir lebih jernih dalam merencanakan dan menata ulang hal-hal yang ingin aku capai dalam hidupku. Seperti judul dalam tulisan ini, saat-saat ketika sedang mengasah gergaji adalah waktu yang tepat untuk melihat dan mengevaluasi sejauh mana pencapaian yang telah dilakukan dan menentukan langkah-langkah selanjutnya.
Mengasah gergaji memang terdengar sepele, namun terkadang seringkali terlupakan apalagi ketika sedang tenggelam dalam lautan pekerjaan yang tak ada habisnya seperti yang aku rasakan belakangan ini. Namun pada suatu titik aku merasa jenuh dan harus melakukan sesuatu. Setelah mencoba berbagai hal, tampaknya membatasi jam kerja dan pulang ke rumah sesegera mungkin adalah salah satu solusi terbaik saat ini. Sejauh ini baru aku uji coba selama satu minggu. Aku berniat untuk meneruskan rencanaku ini dalam sebulan kedepan dan aku penasaran dengan hasilnya. Paling tidak, aku berusaha untuk melepaskan diri dari jeratan pekerjaan, jangan sampai pekerjaan mengontrol kehidupanku. Justru sebaliknya, aku harus bisa mengontrol pekerjaan dan membuatku tak terikat padanya.
Dalam satu minggu terakhir, aku mencoba menerapkan secara konsisten aturan diatas. Datang dan pulang kantor tepat waktu. Diluar jam kantor, sebisa mungkin aku tak terlibat dengan apapun yang berkaitan dengan pekerjaanku. Dengan memaksa keadaan seperti ini, aku memiliki waktu luang yang jauh lebih banyak. Penekananku disini waktu diluar jam kantor benar-benar aku gunakan untuk rileks, bukannya aku gunakan untuk hal-hal lain semacam berkeluyuran kemana-mana sehingga pulang ke rumah terlalu larut.
Semakin capat aku pulang ke rumah, semakin banyak waktu yang aku miliki untuk istirahat. Waktu istirahat ini jika diakumulasikan dalam 5 hari kerja, sudah cukup untuk membuat akhir pekan menjadi lebih senggang. Aku tak perlu berhibernasi untuk membayar utang tidur karena terlalu capai atau pulang terlalu larut di hari-hari kerja. Hal-hal lain yang bisa aku dapatkan adalah aku bisa mengerjakan hal-hal lain yang tentunya diluar pekerjaanku seperti membaca, merencanakan sesuatu, istirahat, dan belajar sesuatu yang baru. Efek yang paling terasa adalah lebih terbukanya pikiran, sehingga memungkinkan terciptanya ide-ide baru yang kurasa tak akan pernah muncul ketika setiap hari tubuh terlalu dibebani dengan berbagai macam pekerjaan dan pikiran. Dengan semakin banyaknya waktu luang yang aku miliki, memungkinkanku untuk berpikir lebih jernih dalam merencanakan dan menata ulang hal-hal yang ingin aku capai dalam hidupku. Seperti judul dalam tulisan ini, saat-saat ketika sedang mengasah gergaji adalah waktu yang tepat untuk melihat dan mengevaluasi sejauh mana pencapaian yang telah dilakukan dan menentukan langkah-langkah selanjutnya.
Mengasah gergaji memang terdengar sepele, namun terkadang seringkali terlupakan apalagi ketika sedang tenggelam dalam lautan pekerjaan yang tak ada habisnya seperti yang aku rasakan belakangan ini. Namun pada suatu titik aku merasa jenuh dan harus melakukan sesuatu. Setelah mencoba berbagai hal, tampaknya membatasi jam kerja dan pulang ke rumah sesegera mungkin adalah salah satu solusi terbaik saat ini. Sejauh ini baru aku uji coba selama satu minggu. Aku berniat untuk meneruskan rencanaku ini dalam sebulan kedepan dan aku penasaran dengan hasilnya. Paling tidak, aku berusaha untuk melepaskan diri dari jeratan pekerjaan, jangan sampai pekerjaan mengontrol kehidupanku. Justru sebaliknya, aku harus bisa mengontrol pekerjaan dan membuatku tak terikat padanya.
Langganan:
Postingan (Atom)