Minggu, Maret 02, 2025

Catatan Gowes rute Ciwidey Bandung

Di penghujung tahun 2024 lalu, aku dan 2 orang temanku menjajal rute Hell of South yang konon cukup terkenal di Bandung. Namun demikian, gowesnya sendiri tidak dari Bandung melainkan dari Jakarta, dengan rencana awalnya rute yang kami ambil adalah sebagai berikut: Jakarta - Bogor - Cibadak - Palabuhan Ratu - Jampang Kulon - Tegal Buleud - Sindang Barang - Cidaun - Naringgul - Ciwidey - Soreang - Cianjur - Jonggol - Jakarta. Kurang lebih rutenya berupa loop dengan jarak tempuh sekitar 560km dengan elevation gain sekitar 7000m++.

Rute ini sebenarnya sudah kubuat sekitaran 2 tahun lalu, dan selalu menjadi wishlist ku. Namun karena konon katanya rutenya lumayan berat ditambah lagi nggak mungkin digowes sehari yang artinya perlu menginap, jadilah menjajal rute diatas ini selalu terkendala di perencanaannya. Mencari kombinasi waktu yang pas dan mood untuk gowes minggat secara kolektif bukan hal yang mudah. Sejujurnya mu gowes sendiri juga aku masih mikir-mikir, berat di effort dan bakalan garing karena dokumentasinya mungkin akan minim.

Pada akhirnya kesempatan datang ketika ada event PRCC seceng di pertengahan bulan Desember lalu, dimana peserta di challenge untuk gowes dengan jarak 1000 km dalam 10 hari. Ketika itu nyaliku sudah cukup kuat untuk gowes solo di rute yang sudah kubuat dari jauh-jauh hari. Bahkan sudah ku plan cuti 2 hari setelahnya untuk berjaga-jaga kalau aku kelelahan. 

Rencana awalnya rute ini akan kujajal di penghujung periode event PRCC Seceng, mengajak satu temanku Om Terry, tetapi opsional. Artinya ya kalau dia nggak bisa aku akan tetap lanjut gowes. Namun apa daya tetiba di minggu yang sudah kurencanakan tetiba diajak oleh kakak iparku untuk menginap di luar kota. Berhubung di akhir tahun ini aku nggak bisa kemana-mana karena kesibukan istriku dengan kerjaannya di akhir tahun, kepikiran agak kasihan juga dengan anak-anakku yang tidak bisa berlibur. Disini aku mengalah, rute ini masih bisa kujajal di lain waktu. Pun demikian, akhirnya PRCC Seceng juga tak bisa aku tuntaskan karena di awal periode event tetiba perutku bermasalah yang membuatku nggak bisa gowes jauh.

Beruntung ada event virtual lain, Mangewu Mangatus (5500) Summit, yang mengajak para cyclist untuk bisa gowes dengan jarak minimal 500km dan elevation gain minimal 5000m selama periode 25-29 Desember 2024. Di event ini jarak tersebut dihitung akumulatif, jadi nggak perlu diselesaikan dalam 1x gowes. Jadwal event nya pun pas menurutku, sebelum akhir tahun dan setelah PRCC Seceng. Paling nggak motivasi untuk gowes minggat masih ada, apalagi setelah PRCC Seceng tak berhasil aku selesaikan. Pada akhirnya aku mengajak teman-temanku Om Terry & Om Peter untuk gowes bareng, menjajal rute yang sebenarnya sudah pernah kami rencanakan untu dieksekusi di pertengahan tahun 2024.

Untuk persiapanku, rasanya tidak ada yang spesial. Gear yang kugunakan seperti yang biasa kupakai untuk gowes seperti biasa: WS Superteam 50mm dengan Sprocket SRAM 11-32T menjadi andalanku, yang dikombinasikan dengan chainring 52/34T + cleat MTB. Dengan kombinasi ini, aku mendapatkan benefit dari sensor power meter dan fleksibilitas dalam lepas pasang cleat dan kemudahan untuk berjalan memakai sepatu just in case nanti perlu menuntun.

Barang bawaan yang kubawa tidak terlalu minimalis, karena ini bukanlah race. Selain 1 stel BiB + jersey ganti, aku juga membawa handuk, sarung, dan 1 stel celana pendek + kaos yang semuanya aku taruh di tas punggung apidura ku, sengaja aku tidak menggunakan saddle bag untuk menyimpan barang-barang diatas. Berdasarkan pengalamanku ketika event Mangewu Mangatus di bulan sebelumnya, tas punggung apidura ini fleksibel dan membuatku cukup sat-set untuk mengeluarkan dan memasukkan barang.

and the journey begin

Gowes Hari Pertama

Kami start agak siangan, jam 6 dengan titik start dari pasar Ciputat dengan pace damai. Belum sampai Bogor, mounting cyclocomp temanku, Om Terry bermasalah yang menyebabkan cyclocomp Garmin nya terlepas. Akhirnya di Bogor kami putuskan untuk melipir ke Rodalink dengan harapan bisa diperbaiki. Kejadian ini cukup menyita waktu perjalanan, karena ketika kami sampai di Rodalink tokonya masih tutup. Setelah buka pun tidak ada solusinya, disana tidak menjual mounting yang bisa dengan pas digunakan untuk Garmin. 

masalah pertama: mounting cyclocomp Om Terry lepas

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan setelah aku pinjamkan adaptor mounting yang kupakai. Namun ternyata dudukannya kurang kencang yang mengakibatkan cyclocomp nya terlepas lagi. Pada akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan, sementara cyclocomp temanku diamankan tanpa dipasang.

D-1, masih fresh

Sekitar jam 10 kami sampai di Cibadak. Disini kami beristirahat dan mengisi bidon sebelum melanjutkan perjalanan ke arah Pelabuhan Ratu. Di tengah perjalanan aku menyadari temanku yang lain Om Peter tampak kurang fit, terlihat dari pace nya yang melambat. Belakangan aku baru ngeh kalau dia memakai vest di tengah kondisi cuaca yang panas. Kemungkinan badannya overheat dan dehidrasi sehingga performanya turun.

Menuju Pelabuhan Ratu
Kami sampai di Pelabuhan Ratu sekitar jam 12 lewat dan kami putuskan untuk beristirahat sekalian makan siang di salah satu warung Padang di pertigaan menuju ke Jampang Kulon. Melihat kondisi temanku yang sepertinya nggak fit banget, aku merasa perjalanan ini sepertinya bakalan meleset dari target awal. Namun demikian karena ini memang niatnya gowes konten, jadi ya dilanjut saja walaupun dengan pace yang lebih lambat.

Makan siang di Pelabuhan Ratu

Di Pelabuhan Ratu, kami baru mengetahui bahwa malam sebelumnya terjadi longsor di jalan utama menuju Jampang Kulon. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, kendaraan tidak bisa melintas, namun sepeda mungkin bisa. Karena sudah tanggung sampai Pelabuhan Ratu, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan sambil melihat kondisi apakah memungkinkan untuk melewati rute longsor yang ditutup.

Pada akhirnya kami menghadapi tembok. Petugas disana tidak memperbolehkan kami untuk lewat. Kondisinya masih berbahaya karena tanah nya masih bergerak, takut terjadi longsor susulan. Beruntung ada jalan pintas yang bisa dilewati oleh sepeda motor. Akhirnya kami putuskan untuk menggunakan jalan pintas darurat ini daripada harus memutar jauh ke Ciletuh. Ternyata jalan pintasnya zonk, selain rutenya menanjak, jalan yang kami lalui berupa jalan setapak, dan rusak akibat sering dilewati motor yang sama-sama menggunakan jalan tersebut. Walaupun jaraknya mungkin hanya beberapa km, tapi sungguh melelahkan karena kami lebih sering harus menggotong sepeda melalui jalan setapak yang naik turun, dan disini nggak bisa digowes.

Menerabas kebon orang

lelah kakaakkk

Kami berhasil keluar dari jalur neraka ini sekitaran jam 15:30 dengan kondisi kelelahan. Beruntung tak jauh dari ujung jalan memotongnya ini ada warung. Disini kami beristirahat sambil menikmati Indomie dobel. Target waktu kami melenceng sangat jauh. Tadinya kupikir bisa sampai Cidaun di malam hari. Sementara pada saatt itu sudah mau memasuki jam 4 sore, namun jarak yang kami tempuh masih tersisa ssekitaran 160km lagi.

Perjalanan menuju Jampang Kulon

Makan malam di Jampang Kulom

Jam 7 malam, kami sampai di Jampang Kulon, 130km lagi menuju Cidaun. Disini kami makan malam dan berisstirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju Tegalbuleud. Pace kami benar-benar melambat karena kondisi temanku yang kurang fit dan diperparah dengan insiden nerabas kebun orang. Namun demikian, temanku masih commit untuk menyelesaikan kilometer sebanyak mungkin. Kami menargetkan titik istirahat yang lebih dekat, Sindangbarang, yang jaraknya 30km sebelum Cidaun.

Menuju Sindang Barang

Rute dari Jampang Kulon sampai Sindangbarang bisa dibilang penuh dengan rute rolling. Dengan jalanan naik turun, membuat kami tak bisa cepat. Beruntung jalanannya bagus. Walaupun malam dan jalanan relatif gelap, aku tak terlalu khawatir karena jalanannya mulus dan tidak banyak lubang yang kujumpai. Segmen ini mungkin segmen dengan kondisi jalan yang paling bagus di sepanjang perjalananku.

Ban Om Peter bocor tengah malam

Setelah melewati daerah Agrabinta, 20 km sebelum Sindangbarang ada insiden. Ban Om Peter bocor halus. Karena jaraknya sudah relatif dekat kami putuskan untuk memompa bannya tanpa menggantinya dengan ban dalam yang baru, mengingat pada saat itu sudah mendekati tengah malam. Ban ini bertahan sekitaran 10km sebelum akhirnya bocor lagi. Kali ini kami berada di tengah hutan yang gelap, jauh dari rumah penduduk dan penerangan. Disini kami lanjutkan memompa, dengan asumsi bocor halus sebelumnya bisa bertahan 10km, maka seharusnya ban yang kami pompa bisa bertahan hingga Sindangbarang.

Akhirnya kami sampai di Sindangbarang sekitar jam 1 pagi dan langsung mencari penginapan yang dulu pernah disinggahi Om Terry ketika BJ. Karena kedua temanku kelaparaan, kami tak langsung istirahat tetapi mencari warung terdekat untuk makan malam sesi-2.

Fiuh... perjalanan di hari pertama ini sungguh melelahkan. Selain waktu tempuhnya jauh meleset, target menginapnya juga meleset, yang tadinya kami targetkan di Cidaun, menjadi maju ke Sindangbarang.

Gowes Hari Kedua

Sebelum meninggalkan penginapan, membereskan masalah bocor semalam

Hari kedua kami start agak siang. Ban sepeda temanku yang malam sebelumnya bocor halus, kami coba tambal dengan cold patch, kebetulan bocornya terhitung halus dan bukan di dekat pentil. Tak jauh dari penginapan, ada warung yang menjual nasi uduk. Kami memutuskan untuk sarapan disini untuk persiapan gowes di hari kedua yang ekspektasinya akan luar biasa tantangannya.

otw ke Cidaun, Garmin nya Om Terry bisa diakalin akhirnya

Sekitar jam 8 pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju Cidaun. Perlu waktu kurang lebih 1 jam untuk sampai Cidaun. Disini kami berbelok ke kiri ke arah utara menuju destinasi kami berikutnya: Ciwidey. Setelah berbelok, kami langsung disambut oleh tanjakan yang lumayan curam walaupun tidak terlalu panjang. 

Masalah bocor belum selesai kakaakkk...

Belum sampai 5 km dari pertigaan Cidaun, ban temanku kempes lagi. Ternyata bocornya merembet, yang akhirnya kami coba tambal lagi sebanyak 2x. Namun demikian karena takut bocor halus lagi, akhirnya kuberikan ban dalamku yang dari material TPU. Kebetulan aku membawa 2 ban cadangan yang biasa + 1 ban cadangan TPU yang materialnya lebih ringan, namun karena punya pengalaman buruk, aku tidak menggunakan lagi ban dalam ini.

Setelah berhenti selama 30 menit lebih untuk membereskan masalah ban ini, kami melanjutkan perjalanan. Dari Cidaun menuju Naringgul jalanannya didominasi oleh tanjakan. Awalnya halus, namun setelah memasuki hutan tanjakannya mulai menggila. Ada 2 segmen tanjakan dengan gradien yang lumayan curam dan memaksaku untuk cukup nge push disini.  Segmen tanjakan yang panjang ini membuat kami tercecer. Akhirnya kami mencapai puncak pertama setelah kurang lebih menanjak 17km an dari Cidaun. Aku dan Om Terry melipir ke warung selagi menunggu Om Peter sampai. Kata pemilik warung, tanjakan yang sudah kami lewati belum ada apa-apanya dibanding tanjakan di depan.

Menuju Naringgul

Puncak pertama sebelum masuk Naringgul

Setelah re-group, perjalanan dilanjutkan. Berdasarkan map yang ada di cyclocomp, kami akan menuruni puncak sebelum akhirnya nanti mulai menanjak lagi hingga Ciwidey. Rupanya setelah menuruni puncak pertama ini, kami memasuki daerah Naringgul. Pemandangannya sungguh luar biasa. Kami berada di satu sisi lembah, di sisi lembah lainnya, kami bisa melihat beberapa curug. Di dasar lembah hamparan sawah memenuhi lembah, yang dibelah oleh sungai.

Lembah Naringgul... let enjoy the view...

Jalanan yang kami lalui  dipenuhi oleh segmen rolling walaupun cenderung turun, untuk menuruni lembah. Sepanjang kami menyusuri Naringgul, jalanannya mulus dan relatif sepi dari kendaraan. Jadi, walaupun jalannya relatif sempit dan banyak belokan tajam kami tak terlalu khawatir bakalan tetiba berpapasan dengan kendaraan lain.


Di segmen ini Om Peter tertinggal lagi. Kami putuskan untuk menunggu di lokasi yang rute rollingnya sudah habis, sebelum kami melibas segmen tanjakan berikutnya yang berdasarkan cyclocomp ku bakalan curam banget. Bisa dibilang kami sudah berada di dasar lembah, di jembatan yang menyeberangi sungai besar yang kami lihat ketika kami memasuki Naringgul. Namun demikian setelah menunggu cukup lama, Om Peter tak kunjung terlihat. Akhirnya aku dan Om Terry memutuskan untuk menunggu di salah satu warung yang berada tak jauh dari dasar lembah, mungkin sekitar 2km an. Kebetulan sudah masuk jam makan siang, dan aku sudah mulai bonk.

Walaupun hanya 2 km, tapi gradiennya bukan kaleng-kaleng. Tak jauh dari kami mulai gowes, sudah ketemu tanjakan tembok, ban depanku hampir mengangkat. Memang benar kata orang warung sebelumnya, tanjakan sebelumnya yang kuanggap berat tidak ada apa-apanya dibanding segmen tanjakan yang saat ini kulibas. 

Meninggalkan Naringgul...

Aku dan Om Terry berhenti cukup lama di warung sambil menunggu Om Peter. Disini aku sekalian sholat, kebetulan ada musholla yang nyaman. Nggak salah juga memilih warungnya, karena pemandangannya luar biasa. Aku bisa melihat lembah Naringgul dari atas. Bisa kulihat juga jalanan yang telah kulewati berada dibawahku, meliuk-liuk membelah sawah.

Setelah re-group, perjalanan dilanjutkan kembali. Karena jarak ke Ciwidey cukup jauh dan tanjakan curam masih ada di depan, tampaknya kami tak mungkin gowes bareng-bareng. Kami putuskan untuk gowes dengan pace masing-masing dan re-group lagi di Ciwidey, dekat Kawah Putih dimana dari situ sudah tersisa turunan saja hingga ke Soreang. Pertimbangan ini kami lakukan untuk mengurangi banyak waktu yang hilang untuk beristirahat. Perjalanan kembali menuju Bintaro masih jauh, sementara hari sudah mendekati sore hari.

Menuju Ciwidey...

Perjalanan dari warung menuju kebun teh Ciwidey bisa dibilang paling berat. Segmen tanjakannya panjang, dan banyak segmen yang gradiennya 20%++. Yang lebih parah, kondisi ini tidak terdeteksi di cyclocomp ku. Banyak segmen yang warnanya hijau atau kuning tetapi gradiennya curam. Beberapa kali juga kuperhatikan, segmen yang gradiennya diatas 20% malah ditampilkan dengan warna abu-abu, yang artinya jalanan flat atau menurun, padahal seharusnya merah darah. 


Akhirnya sampai juga di Ciwidey..

Memasuki segmen kebun teh, aku dan Om Terry banyak berhenti untuk foto-foto, sambil sesekali aku merekam video dari jauh. Pemandangan indah ini tentunya tak bisa kami lihat setiap hari. Jadi membuat dokumentasi & konten adalah hal terbaik yang bisa kami lakukan agar pengalaman ini tak menguap begitu saja.

Ciwidey... we're coming...

Akhirnya aku dan Om Terry sampai di dekat pintu masuk kawah putih sekitar jam 5 sore. Kami putuskan untuk menunggu di warung yang menjual Wedang Ronde. Di ketinggian hampir 1400m dan sudah mendekati malam hari, udaranya sangat dingin, perlu asupan yang panas agar kami tidak kedinginan. Sekitar 30 menit kemudian Om Peter sampai. Hari sudah mulai gelap.

Menikmati wedang ronde sembari menunggu Om Peter...

Berdasarkan perhitungan, kami tidak akan bisa sampai ke Jakarta sebelum tengah malam. Mempertimbangkan kondisi kami yang sudah kelelahan dan besok mesti masuk kantor, akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan sampai Soreang, dimana disana rencananya kami akan naik travel, dan sepedanya dikirimkan terpisah melalui kurir travel.

Setibanya di Soreang, rupanya tarif yang dikenakan untuk sepeda lumayan mahal, 300 ribu per sepeda dan deliverynya pun perlu waktu 2 hari. Ternyata ada opsi lain: menggunakan jasa Lala Move yang jauh lebih murah. Rp 600 ribu untuk pengiriman barang + 50 rb per orang untuk perjalanan hingga ke Bintaro. Dengan opsi yang lebih murah dan lebih masuk akal ini, kami putuskan untuk menggunakan jasa Lala Move dibandingkan dengan opsi travel + kurir untuk sepeda. Jasa Lala Move yang kami gunakan adalah mobile box, 3 sepeda bisa langsung masuk, sementara 1 orang bisa duduk di depan, 2 orang lainnya ngemper di belakang.

Akhirnya... pulaaannnggg...

Akhirnya aku sampai Bintaro sekitaran jam 1 setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam dari Soreang. Sampai rumah 20 menit kemudian, karena titik delivery nya di Bintaro XChange Mall dan dari sini aku harus gowes lagi sampai ke rumah. Perjalanan gowes kali ini sungguh luar biasa, walaupun banyak masalah kendala dan tantangan diluar dugaan yang harus kuhadapi, namun rewardnya sebanding: pemandangan indah sepanjang rute Naringgul - Ciwidey, kepuasan telah bisa menaklukan semua segmen tanjakan disini tanpa menuntun, dan juga akhirnya aku bisa mengeksekusi rute yang telah menjadi wishlist ku dalam 2 tahun ke belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar